Pers Indonesia Pada Masa Orde Lama

08.38 Carolina Lidya's Room 0 Comments

Berdiri Kokoh antara Dua Rezim

Sebelum kita loncat ke sejarah pers Indonesia pada masa orde lama, tahukah kalian tokoh jurnalis yang menjunjung tinggi nilai pers meski pers pada masa itu mengalami pembredelan dan dibungkam? Yups, salah satu tokoh tersebut adalah Mochtar Lubis. Mochtar adalah wartawan yang berani memikul konsekuensi perjuangan, mendekam dalam penjara bertahun-tahun tidak menciutkan nyalinya menjadi jurnalis sejati. Mochtar Lubis adalah wartawan kritis yang hidup dipenjara oleh dua rezim, yakni orde lama dan orde baru. Mochtar adalah bagian dari generasi yang menjadi wartawan karena memperjuangkan cita-cita. Mochtar adalah salah satu yang mewariskan dan peneguh cita-cita jurnalisme kaum pergerakan. Mochtar terkenal dengan surat kabar Indonesia Raya yang diberhentikan oleh dua rezim otoriter yang selama 40 tahun menguasai Indonesia.

Orde lama adalah periode Demokrasi Terpimpin di bawah kekuasaan presiden Soekarno. Mochtar Lubis dengan harian Indonesia Raya mengalami beberapa kali pembredelan karena keberaniannya membeberkan kasus pelecehan, ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, penindasan di masyarakat, dan lain sebagainya. Mochtar dipenjara sembilan tahun selama orde lama memerintah Indonesia.

Pergolakan di Tubuh Pers Indonesia

Sejarah pers Indonesia diwarnai oleh sekian banyak peristiwa-peristiwa penting, bahkan tragis dari setiap fase perkembangan bangsa ini. Serentetan kejadian pembredelan pers, tidak hanya mewarnasi dasawarsa pasca kemerdekaan Indonesia. Namun, jauh sebelumnya di masa kolonialisme berlangsung, pers telah menuai sederet kasus pembredelan dan larangan terbit.

Tidak heran saat pasca revolusi kemerdekaan dikumandangkan, masih pula pers Indonesia merangkak sedemikian rupa agar tetap dapat bersuara, meski dengan amat lirih. Ketika pers Indonesia berada pada kerangka kerja yang disebut Sistem Pers Otoriter, kemampuan bergerak cepat dan efisien pers masih dirasakan terjadi.

Keadaan berubah drastis dalam masa bulan madu pers dan pemerintah sangat singkat. Sehingga tampak pada setiap masa hanya tindakan pembredelan pers dan kemelut berkepanjangan antara dominasi negara atas insan pers di Indonesia. Yazuo Hanazaki (dalam Semma, 2008, h.113) menyatakan bahwa, perkembangan hubungan antara pers dan pemerintah dapat dibagi dalam dua periode. Pertama, semakin bebasnya pers dari kontrol negara hingga tahun 1957. Kedua, semakin luasnya kontrol negara terhadap pers yang membuat pers tidak berani angkat bicara.

Pers Era Orde Lama

Pers Indonesia di era Orde Lama dan Orde Baru dapat dikategorikan dalam periode kedua dimana kontrol negara tehadap pers. Meski di masa-masa awal berkuasanya rezim, hubungan harmoni masih dapat terlihat, sangat besar sehingga mematikan dinamika pers. Setelah penyerahan kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan surat kabar sendiri. Surat kabar pertama yang terbit di masa republik itu bernama Berita Indonesia yang terbit di Jakarta sejal 6 September 1945 (Semma, 2008, h.114).

Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan masih sangat panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan pergolakan di beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum menarik diri masih terjadi. Agar upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan oleh surat kabar seperti surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar berbahasa Indonesia, diantara Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat (Surabaya). Pada masa itu, sebagian besar surat kabar terbit dalam empat halaman, dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang masih minim.

Pada Desember 1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras 405.000 eksemplar. Namun, pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi 81 dengan tiras 283.000 eksemplar. Hal ini juga diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang terjadi pada Desember 1948. Sementara itu, jangkauan tiras berbubah dari 500 menjadi 5000 eksemplar. Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin memperkuat semangat kebangsaan, mempertajam teknik berpolemik, dan mulai memperlihatkan peningkatan semangat partisipan.

Perebutan Wacana Politik oleh Pers di Indonesia

Tugas paling mendasar yang dibebankan kepada media dalam percaturan politik adalah memenangkan wacana politik. Karena wacana politik yang kelak akan menentukan persepsi dan opini publik terhadap sebuah partai atau penguasa, terutama berkenaan dengan soal legitimasi dan deligitimasi kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, sejak jaman kolonial Belanda hingga masa Orla dan Orba serta era Reformasi setiap pemerintahan berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan pers.

Berbeda pada masa Orde Lama yang menempatkan pers sebagai instrumen rebutan wacana antarbuku, pada jaman Orde Baru khususnya setelah peristiwa Malari 1974 wacana politik dicoba dikuasai oleh penguasa (Hamad, 2004, h.82). Pers dalam masa ini dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah Orde Baru, guna memenangkan wacana politik mereka. Hingga jatuhnya rezim orba, fungsi media massa boleh dikatakan tak lebih sebagai alat legitimasi.


Sumber:

Semma, Mansyur. (2008). Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara, Manusia Indonesia, dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Hamad, Ibnu. (2004). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta: Granit

0 komentar: